Rabu, 06 April 2011

HUBUNGAN ANTARA KONFLIK DENGAN KEPUTUSAN DAN SOLUSI PADA SUATU ORGANISASI

Secara umum konflik berarti perilaku anggota organisasi yang dilakukan berbeda dengan anggota lainnya.
Konflik timbul disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : perbedaan persepsi, perbedaan cara merealisasikan tujuan, perbedaan kepentingan, suatu pihak melakukan sabotase terhadap yang lain serta sumber-sumber yang terbatas adanya. Dua penyebab yang pertama merupakan jenis konflik yang dapat membuat organisasi dinamis bila di-manage dengan tepat, cepat dan profesional. Sementara penyebab yang lainnya merupakan dampak dari mismanagement, sehingga konflik semacam itu sejauh mungkin dihindari atau diselesaikan sesegera mungkin sebelum menimbulkan dampak kontra produktif bagi organisasi.

Sebagai mana kita ketahui bahwa nilai-nilai yang diajarkan dan dianut dalam masyarakat selalu bersifat anti-konflik. Nilai-nilai persatuan, kesatuan, kerjasama dan gotong royong selalu ditekankan untuk dapat mencapai tujuan bersama. Di lain pihak, nilai-nilai demokrasi, musyawarah untuk mufakat juga menghargai perbedaan pendapat orang lain tidak jarang dikorbankan secara tidak proporsional demi menjaga kelestarian nilai-nilai sosial di atas. Oleh karena itu, masalahnya dalam manajemen adalah bagaimana mengklasifikasikan jenis konflik dinamis untuk kemudian me-manage-nya, bukan menghindari ataupun menghilangkan konflik. Justru dari perbedaan pendapat itulah sering timbul kebenaran.

Pada hakekatnya terdapat dua pandangan utama dalam memandang konflik, yaitu pandangan tradisional dan interaksional. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap akan mengganggu kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga dalam konsep pemikiran demikian, konflik selalu mengandung pengertian negatif, jelek dan destruktif. Tangungjawab manajemen adalah mencegah timbulnya konflik sampai ke akar-akarnya. Sebaliknya, dalam pandangan interaksional, konflik justru mendorong terjadinya efektifitas organisasi, dalam bentuk perubahan dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Tanpa konflik, suatu organisasi akan statis, apatis dan tidak responsif. Namun, agar konflik dapat fungsional maka harus dikendalikan secara cerdas dan profesional, sehingga efektivitas organisasi akan optimal.

Seberapa jauh konflik terjadi dilingkungan kerja anda ?

Untuk mengetahui tingkat konflik yang ada didalam organisasi anda, berikut adalah beberapa pertanyaan untuk mengukur tingkat konflik.
Apakah para bawahan takut mengecewakan anda?
Apakah para pembuat keputusan terlalu menekankan kompromi sehingga melupakan tujuan organisasi?
Apakah pimpinan lebih percaya pada impresi perdamaian dan kerjasama di atas segalanya?
Apakah para pembuat keputusan terlalu khawatir menyakiti perasaan orang lain?
Apakah pimpinan menganggap popularitas lebih penting untuk memperoleh penghargaan/balas jasa daripada kemampuan dan prestasi?
Apakah pimpinan terlalu mementingkan konsesus dalam membuat keputusan?
Apakah karyawan sangat menentang perubahan
Apakah terlalu sedikit pemikiran-pemikiran baru?

Jika terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas, hanya ada satu atau dua jawaban positif, maka diperlukan dorongan untuk meningkatkan konflik. Kenapa konflik harus ditingkatkan ? Karena tanpa konflik, dinamika organisasi hanya akan tinggal sebagai obsesi belaka. Bayangkan bila anda seorang atasan yang dikelilingi bawahan ABS dan terlalu takut mengecewakan anda, anda menempatkan kondisi harmonis dan damai diatas tujuan organisasi, serta alergi terhadap pemikiran-pemikiran baru dan menentang perubahan-perubahan positif hanya karena anda khawatir menyakiti perasaan bawahan. Tentu saja organisasi yang anda pimpin akan stagnan, tidak responsif dan semakin disfungsional.

Berbagai faktor dapat menjadi sumber konflik, antara lain faktor psikologis yang bersumber dari sifat-sifat individual karyawan dan faktor struktural. Namun disini difokuskan hanya pada konflik yang sumbernya bersifat struktural. Faktor-faktor tersebut antara lain :

1.Saling ketergantungan tugas. Ini terjadi bila ada dua atau lebih unit kerja saling tergantung untuk kerjasama, informasi, ketaatan atau kegiatan koordinatif lainnya.
2.Ketergantungan satu arah. Ini terjadi bila satu unit kerja secara unilateral tergantung dari unit kerja lainnya.
3.Diferensiasi horisontal yang tinggi. Ini terjadi bila unit-unit kerja memiliki tujuan, organisasi waktu dan filosofi yang berbeda, seperti antara unit produksi, pemasaran dan keuangan.

Mengendalikan konflik berarti menjaga tingkat konflik yang kondusif bagi perkembangan organisasi sehingga dapat berfungsi untuk menjamin efektivitas dan dinamika organisasi yang optimal. Namun bila konflik telah terlalu besar dan disfungsional, maka perlu diturunkan intensitasnya, antara lain dengan cara :

1.Mempertegas atau menciptakan tujuan bersama. Perlunya dikembangkan tujuan kolektif di antara dua atau lebih unit kerja yang dirasakan bersama dan tidak bisa dicapai suatu unit kerja saja.
2.Meminimalkan kondisi ketidak-tergantungan. Menghindari terjadinya eksklusivisme diatara unit-unit kerja melalui kerjasama yang sinergis serta membentuk koordinator dari dua atau lebih unit kerja.
3.Memperbesar sumber-sumber organisasi seperti : menambah fasilitas kerja, tenaga serta anggaran sehingga mencukupi kebutuhan semua unit kerja.
4.Membentuk forum bersama untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah bersama. Pihak-pihak yang berselisih membahas sebab-sebab konflik dan memecahkan permasalanhannya atas dasar kepentingan yang sama.
5.Membentuk sistem banding, dimana konflik diselesaikan melalui saluran banding yang akan mendengarkan dan membuat keputusan.
6.Pelembagaan kewenangan formal, sehingga wewenang yang dimiliki oleh atasan atas pihak-pihak yang berkonflik dapat mengambil keputusan untuk menyelesaikan perselisihan.
7.Meningkatkan intensitas interaksi antar unit-unit kerja, dengan demikian diharapkan makin sering pihak-pihak berkomunikasi dan berinteraksi, makin besar pula kemungkinan untuk memahami kepentingan satu sama lain sehingga dapat mempermudah kerjasama.
8.Me-redesign kriteria evaluasi dengan cara mengembangkan ukuran-ukuran prestasi yang dianggap adil dan acceptable dalam menilai kemampuan, promosi dan balas jasa.

Ketidakmampuan ataupun kegagalan mengelola konflik akan bermuara pada kehidupan organisasi yang apatis, stagnan dan disfungsional. Agar hal ini tidak terjadi, diperlukan seorang pemimpin yang mampu mengimplementasikan manajemen konflik secara cerdas dan berdasarkan visi, misi serta strategi praktis yang di-design-nya sanggup menyulap konflik sebagai “mesin” dinamika organisasi. Dengan demikian format organisasi tersebut akan selalu match dengan lingkungan strategisnya.