Selasa, 18 Januari 2011

Provokator VS Motivator

Sejak Soeharto lengser, provokator menjadi kata popular di lingkungan  masyarakat. Saat ada gejolak, pasti media cetak dan elektronik menyebut-nyebut si A atau si B sebagai provokatornya.

Untuk lebih jelas, provokator adalah pihak yang memanas-manasi keadaan, ibarat menyiram minyak pada api. Keadaan yang biasa pun bisa berubah menjadi kerusuhan hebat karena ada provokator. Sebab mereka bertindak untuk kepentingan dirinya atau golongannya saja, tanpa memikirkan kepentingan pihak lain atau masyarakat pada umumnya.

Dalam perusahaan pun, jika ada provokator, keadaan menjadi lebih kisruh.
Sering kali seorang provokator muncul dari diri seseorang yang mempunyai
‘rencana lain’ dari apa yang digelar. Contohnya, dengan memperjuangkan
hak-hak karyawan lewat aksi unjuk rasa, padahal yang sebenarnya semua itu
berlatar belakang dendam pribadi pada pemimpin atau perusahaan itu sendiri.

Provokator bisa muncul pada seseorang yang mempunyai jiwa labil, yang
mempunyai visi dan misi ‘idealis’ sebagai cetusan dari depresi yang sedang
terjadi pada jiwanya yang sedang bergejolak. Dengan kata lain, dia sendiri
tidak tahu arah seharusnya dalam menjalani hidup ini.

Jenis provokator seperti ini, mudah dilihat dari sikap dancara dia menulis, selalu mengebu-gebu
Jika seseorang punya kemampuan menjadi provokator,
alangkah baiknya jika dia murni berjuang untuk kepentingan orang banyak.

Dia bisa berubah menjadi motivator yang andal. Dia mampu mengendalikan
IQ, EQ, dan SQ-nya. Peran kecerdasan nalar, emosi, spiritual
(di sini bisa dijabarkan sebagai kecerdasan batin) bisa berjalan seimbang.
Di sinilah letak kemuliaan hati seseorang yang tercermin dalam tindakannya.
Sebagai motivator, seseorang bisa bertindak mempengaruhi orang lain, dalam
artian yang positif, seperti memberi semangat kerja dan meluruskan pikiran-pikiran yang menyesatkan atau salah kaprah dari isu-isiu yang dilontarkan secara tidak bertanggung jawab.
Selain itu, dia juga bisa meredam kegelisahan yang muncul dari banyak sebab.
Sehingga, sangat penting bagi seorang motivator untuk memiliki rangkuman
dari pengendalian emosi, nalar, dan spiritualnya.
Spiritualitas merupakan refleksi dari keterbukaan, mudah menerima, punya kesabaran, sikap keingintahuan yang luas, dan sadar bahwa yang ada dalam kehidupan ini lebih besar dari apa yang dilihat atau dipikirkan.
Seorang motivator mampu menjabarkan dengan cepat keadaan yang sedang
berlangsung dan jeli melihat kesempatan atau peluang untuk melancarkan
’suntikan-suntikan’ pada orang lain.

Seorang motivator, mampu menyederhanakan masalah (bukan menyepelekan
masalah), dengan tidak melakukan 'perbuatan konyol', seperti bercerita ke
sana-sini mengenai masalah yang dihadapi. Terlalu banyak bicara, cenderung
memperbesar masalah, tanpa hasil yang jelas, serta memancarkan sinyal-sinyal
perseteruan yang bisa merugikan perjuangan untuk mewujudkan keharmonisan.


Salam semangat untuk kita semua, yang merasa sebangsa dan setanah air

Tidak ada komentar:

Posting Komentar